Truth or Dare

Aku menunggu dengan gelisah di luar restoran. Di tanganku ada sebuah kantong yang berisi hadiah untuk teman baikku, Hans. Aduh, dia jadi datang nggak ya?

Ting tong. Ada sebuah SMS. Pasti Hans! Aku pun segera membukanya.

Aduh, maaf Lun, aku nggak jadi dateng. Mendadak harus nemenin keluargaku. Maaf ya :(

Aku tersentak di situ... masalahnya kami sudah merencanakan pertemuan ini sejak lama; di reuni yang diadakan SMP kami. Kami sekarang sudah SMA, dan kebetulan ayahku pindah tugas ke luar kota. Jadi kemungkinan kami bertemu kecil sekali. Hari itu mungkin adalah satu-satunya. Aku sampai beli tiket kereta cuma buat acara ini.

Tapi nggak apa-apa deh, memangnya aku ke sini cuma buat bertemu dengan Hans? Sekalipun aku memang nggak begitu akrab sama teman SMP-ku, karena cuma 1 bulan aku belajar dengan mereka.

Woles ajaa, selamat menikmati acaranya deh yaaaa

Aku pun segera masuk. "Yaampun Luna ke mana aja? Dicariin dari tadi!" satu-satunya temen dekatku selain Hans, Arin, menepuk bahuku kencang.

"Ariiinnnnnnnnnn bilangnya gaakan dateng! Aku kangen!" aku berteriak heboh sambil langsung memeluknya.
"Ciee kangen sama aku. Yang penting sekarang aku dateng kan? Eh si itu mana? Dateng nggak?"
Aku tertawa. "Iya iya. Itu siapa?"
"Alah nggak usah pura-pura nggak tau deh, itu muka udah kayak kepiting rebus."
"Nggak tau tuh. Kemarin bilang ke aku bakalan dateng. Tapi tadi dia mendadak bilang nggak bisa dateng."
"Yaaaah gimana sih tuh anak. Kapan lagi coba ketemuan sama pacarnya kalo nggak sekarang."
"Pacar apaan sih Rin.... udah ah, gabung sama yang lain yuk!"

Aku dan Arin pun mengobrol dengan yang lain. Tiba-tiba ada SMS. Dari orang yang sama dengan tadi. Aduhh, Hans, jangan buat aku semakin patah hati.

H: Gimana acaranya?
L: Seru!
H: Kemarin bilang kalau gaada aku nggak akan dateng....
L: Yaa ternyata seru juga kok. Kamu gimana acaranya?

Sebelum sempat mengobrol lebih banyak, temanku yang lain, Hanum, menarikku. "Luna, main yuk!"

"Ma... main apa?"

Ada sebuah botol di tengah meja. Yang lain siap di posisi masing-masing, menungguku. "Halo Luna, main Truth or Dare ya sama kita."

Permainan ini... yaampun. Di SMP lalu aku selalu menghindari permainan ini. Aku tidak ingin teman-temanku terlalu mengenalku karena aku tahu cuma akan 1 bulan kami bersama.

Teman-temanku selalu memainkan ToD dengan cara yang agak berbeda dari yang lain. Kalau di ToD biasa, kita bisa memilih mau truth atau dare. Kalau main sama temanku, diatur. Putaran pertama, truth. Putaran kedua, dare. Begitu seterusnya.

Putaran pertama. Caraka yang mendapatkannya.

"Suka sama siapa aja di SMP?" Ckck pertanyaannya selalu seperti ini.
"Hanum."
"Yaelah itu sih pacarnya." Permainan pun berlanjut.

Botol itu bergerak cepat selama beberapa detik sebelum berhenti untuk menunjuk Arin. Nyaris sekali buatku, dia duduk di sampingku. "Arin, coba tembak mas-mas pelayan yang lagi ke sini!" aku berkata saat yang lain tidak ada ide.

"Wuih, Luna bisa juga ya ngasih dare."
"Ya masa nggak bisa sih," ujarku sambil tersenyum.

Putaran ketiga. Botolnya pun menunjuk... aku. Tunggu... aku? Botolnya menunjuk ke arahku? Tamat sudah riwayatku.

"Yes!" Tata tersenyum, "Akhirnya kita bisa lebih kenal sama bocah satu ini."
"Jangan truth dong... dare aja ya ya ya." Aku memohon.
"Yaudah. Tapi harus terima dare-nya apapun itu."
"Iya." Aku pikir, paling dare-nya nyanyi di panggung restoran atau apa lah.
"Kamu harus mau ngejawab pertanyaan kita seberapa pun banyaknya itu."
"Loh tadi katanya dare..."
"Nggak ada bantahan, Lun."

Aku mulai merasa aneh dengan Truth or Dare ini.

"Ada yang dikeceng nggak?"
"Yaampun. Harus banget dijawab?"
"Harus, Lunaaaaaa." Arin gemas.
"Hans. Oke, udah puas? Lanjutin permainannya ya."
"Hans?!" Semuanya kaget, lalu kemudian tertawa kecil. "Lun, gosip selama ini bener ya."
"Gosip apa?"
"Masa nggak tau sih Lun," sebuah suara terdengar dari balik punggungku. Astaga. Aku kenal suara ini.

Aku yakin 100000000% itu suara Hans. Aku benar-benar dikerjai hari ini.

"Luna, maafin aku bohong sama kamu. Dari tadi aku ada di sini, ngeliatin kamu dari jauh."
"Ya."
"Aku boleh nanya sesuatu nggak?"
"Apa?"
"Mau jadi pacarku nggak, Luna Anindita?"

Semua orang di sana langsung memerhatikan kami. "Adeuhhhhh Luna sama Hans akhirnya jadian beneran." "Terima Lun, terima!"

Aku kaget, namun kemudian berhasil mengendalikan diri. "Kuat LDR, emangnya?" kataku sambil menengok ke arahnya.

"Sama kamu, apa yang nggak?"
Aku pukul tangan Hans. "Aku serius."
"Aku juga, Luna."

Bibirku melengkung. "Yaudah, kita coba ya."

Comments

  1. Kok. . . sepertinya mirip. . .

    Kaya kenal gitu sm ceritanya. . . ((( K E N A L )))

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Favourite Scenes in Meet the Robinsons!

20 Tips Bermain Ameba Pigg

Pigg, Apaan Tuh?