the bittersweet feeling of stepping into adulthood

Menjadi dewasa, apa memang rasanya seperti ini, ya?

Akhir-akhir ini aku gampang banget terharu kalo nginget memori masa lalu. Apa pun itu - kecil, besar, senang, sedih; semuanya terasa bittersweet. Misalnya, rasanya OSN SMP di Batam itu baru kemarin, tapi ternyata itu udah 7 tahun lalu! Mungkin kalau SD rasanya udah cukup jauh ya, tapi kaget juga pas ngitung ternyata aku udah lulus SD dari 9 tahun lalu. Dan masa-masa menyenangkan SMA itu... OSN, aksel, dan drama persahabatan di antaranya - rasanya nggak tergantikan.

Ketika dulu aku pertama kali kena masalah di kuliah, rasanya sakit banget. Rasanya dunia kayak runtuh, literally; aku yang selama ini nggak ada masalah dengan jati diri, tiba-tiba mengalami trauma dan PTSD, kehilangan arti soal prinsip. Belum lagi masalah-masalah lainnya yang sebenarnya sih sudah ada sejak lama, tapi aku sendiri baru punya pemahaman yang cukup untuk mengerti hal itu di kuliah. Di saat yang sama, aku pun merantau, belajar jurusan yang sebenarnya bukan pilihanku, di lingkungan yang begitu asing. Bertahun-tahun, rasanya aku melangkah setiap hari itu ya karena aku nggak tahu lagi mau ngapain. Suatu keputusan yang sangat aku banggakan dan syukuri sampai saat ini, karena aku benar-benar nggak akan seperti sekarang kalau bukan karena diriku yang dulu itu, memaksaku tetap melangkah.

Ada beberapa hal yang aku sangat, sangat syukuri dari masalahku di kuliah. Yang pertama adalah, menariknya, itu adalah cara Allah untuk mengijabah doaku saat SMP dulu. Dari kecil dulu, aku selalu takut dengan dunia: masalah orang kok kayaknya berat-berat, ya, aku bisa ngehadapinnya nggak ya. And He answered me at the best time - now I feel confident in my own strength. Menarik sekali gimana masalah di kuliah ini, yang awalnya membuatku putus asa dan mempertanyakan kemampuanku untuk bertahan dari masalah, berakhir menjadi bukti bahwa aku kuat dan mampu. Indeed, what doesn't kill us, makes us stronger.

Yang kedua adalah, tentu saja, pelajaran yang aku dapat dari itu semua. Banyak sekali sebenarnya, tapi mungkin ada dua yang paling penting: 1) titles and awards should be seen as bonuses, as what truly matter are the lessons you get from working hard dan 2) happiness is merely a byproduct of solving problems (with emphasize on the word 'solving'). Untuk yang ini sebenarnya unik sekali, karena saat awal kuliah dulu pun, targetku bukan kebahagiaan, tapi titles and awards. Sebagai seseorang yang dulu 'berkarir' di olimpiade, aku merasa entitled terhadap keberhasilan. Tentu aja ini nggak benar, karena ya hidup pada intinya memang kumpulan usaha. Life is an endless cycle of hard work; nothing is set in stone, we may be the best today, but who we are tomorrow are shaped by our efforts today.

Ketika akhirnya aku kena masalah, tanpa sadar, masalah-masalah itu membuatku merasa entitled terhadap kebahagiaan - target baruku. Jadi ketika masalah semakin bertubi-tubi, rasanya melelahkan sekali... maka aku menyibukkan diri dengan lomba dan kegiatan. Sejujurnya, alasan utamaku ikut itu semua pada awalnya adalah untuk berlari, mencari distraksi. Tapi dari situ aku dapat arti dari usaha. Dari saat kalah di OSN SMP dulu, sebenarnya aku udah berusaha mengorientasikan pikiranku bahwa yang lebih penting itu usaha - tapi melalui semua masalah yang kuhadapi di kuliah, termasuk ketidaksukaanku dengan jurusanku, orientasi itu seperti punya arti baru. Dari kegiatan-kegiatan yang kuikuti, aku mendapat kesempatan yang lebih baik lagi, dari koneksi dan pengalaman yang kudapat di sana. It's true that titles and awards bring us joy, but the skills, connections and lessons (such as work ethic) we get from them are the ones which lead us to our next steps - and our next success.

Ini juga yang kurasakan ketika akhirnya aku memenangkan lomba MIT COVID-19 Challenge. Rasanya senang, tapi tak berapa lama yang aku rasakan adalah... hampa. Aku panik, nanti ke depannya aku harus apa. Lomba itu adalah hal yang bahkan aku nggak pernah bayangkan sebelumnya untuk bisa aku capai. Tapi, ketika mengingat perjuanganku untuk menang - 10 kali hackathon, 36-52 jam dalam 1 minggu, selama 3 bulan berturut-turut - rasanya semuanya lebih bermakna. What truly leads to happiness is the process.

Pesan-pesan ini juga kudapatkan dari pengalamanku dengan PTSD. Kadang rasanya ingin menyerah, apalagi melihat hidupku jadi berantakan sekali: targetku di kuliah hampir buyar semua. Tapi kalau dipikir-pikir, sepertinya itu cara Allah mengarahkanku ke rute yang berbeda 😊. Dan dari PTSD itu, aku dapat pelajaran yang sangat, sangat luar biasa. Ketika PTSD-ku akhirnya berakhir, aku bisa mengingat (hampir) semuanya dengan bahagia - karena sekali lagi, true happiness comes from solving problems. Karena di dalamnya kita mendapat arti untuk hidup, harapan untuk terus melangkah, dan pelajaran untuk semakin menjadi manusia.

Hal yang ketiga yang kusyukuri adalah betapa masalah-masalahku di kuliah membuatku bersyukur atas masa kecilku. Bukannya masa kecil itu nggak ada masalahnya; ada banget, sejujurnya, tapi saat ini aku bisa lebih fokus ke bagian indahnya. It turns out that I have many memories to treasure. Sejujurnya, jadi sering sekali terharu sama hal sekecil apapun yang mengingatkan sama masa kecil: soundtrack Sword Art Online, buku harian masa kecil, lagu-lagu Owl City, Anastasia, dan bahkan hal-hal lain yang sebenarnya baru benar-benar kutonton saat dewasa, tapi terkait banget sama masa kecilku, misalnya Naruto dan Running Man. Every one of these makes me travel down the memory lane.

Sekitar dua bulan lalu, rasanya  aku - yang saat itu mau (dan sekarang udah) 21 tahun - takut banget dengan masa dewasa ini. Sejujurnya aku tau umur ini masih muda sekali, tapi di saat yang sama tanggungjawabnya juga udah banyak, nggak seperti saat kecil dulu lagi. Saat kecil dulu, nggak seperti anak kebanyakan, aku emang nggak tertarik jadi orang dewasa karena menurutku masalahnya banyak ðŸ˜…. Tapi sekarang yang aku rasa lebih ke, wah, tampaknya aku sudah (lumayan) berhasil melewati masa remaja yang membingungkan ini. I hope that I had grown up well, but I guess it's too early to say that. I'll just do my best to prove it ðŸ˜Š

Sebagai penutup, di tahun 2018 dulu aku pernah menulis prosa soal harapanku untuk berani melangkah terlepas dari masalah yang sedang kuhadapi. Aku baru membaca ini lagi kemarin - tapi rasanya aku belum pernah menulis soal willpower lebih kuat dari ini. 

"Ada Aurora di pelukmu. Senyum dan tawa memenuhi pipinya; dan membuncah pula lah bahagiamu. Hingga kemudian... ia dengar ketuk pintu. Wajahnya memucat. Senyumnya memudar. Tawanya tergantikan tangis dan teriakan yang begitu menyiksa hatimu. Aurora... ia benci ketuk pintu. Ketuk pintu hanya akan mengingatkannya tentang hal buruk yang menghantuinya setiap waktu; melukai hatinya sedemikian dalam, mengganggu hidup Aurora bahkan dalam tidurnya.

Kamu menunduk. Selalu saja begitu; berbahagialah kalian sebentar saja dan ketuk pintu akan datang, seakan melarangmu memiliki sedikit saja harapan bahwa hidup tidak seburuk itu.

Lambat laun, setiap teriak Aurora juga menjadi awal dari teriakmu.

Tapi sebelum kamu terlalu menyedihkan hingga rumah kalian hanya diisi teriak dan tangis; kamu memaksa Aurora untuk membuka pintu. Membuatnya menangis dan meronta-ronta; ingatan soal kejadian buruk yang bertahun-tahun menjadi definisi hidupnya berputar berulang-ulang seakan ia menjelma kaset rusak. Aurora memohon - ia berlutut, ia cium kakimu semata agar ia tidak perlu melihat dunia luar. "Tidak bisa. Tolong mengerti," ujarnya.

Tapi kamu tetap menariknya ke luar.
-------------------------------------
Hari itu langit sangat cantik.

"Lihatlah, Aurora. Kamu aman di sini; dan siapa tahu, kalau kamu sering memberanikan diri, suatu saat langit akan menyemburatkan aurora borealis."

Aurora menengadah; dan sebagian hatinya menghangat, dengan rasa takut yang masih sedemikian membuncah. Tapi Aurora mencoba sekuat tenaga untuk tersenyum.

Kamu adalah keberanian yang tersisa di hidup Aurora."

...dan keberanian itu, akan kuusahakan untuk kujaga selalu. ðŸ˜Š


Comments

Popular posts from this blog

Favourite Scenes in Meet the Robinsons!

20 Tips Bermain Ameba Pigg

Beda Anak Kecil sama Orang Dewasa