Bermimpi

"Kamu tahu, saya seorang pemimpi," Aku berkata sambil menghirup latte-ku sedikit demi sedikit.

Dipandangnya aku dengan senyum, "Tentu saja saya tahu, kamu sering sekali membicarakannya."
"Dulu saya sempat benci bermimpi, benci sekali," aku terdiam sebentar, "saya dulu sempat berpikir mimpi hanya membawa saya menuju kekecewaan, dan saya benci untuk menjadi terpuruk; walau nyatanya yang terjadi memang begitu."
"Lalu, apa yang membuat kamu kembali bermimpi?"
"Bagaimana menurut kamu?"
"Saya melihat mimpi sebagai kekuatan hidup, pegangan saya kalau sedang jatuh."
"Saya pun menganggap mimpi memiliki kekuatan semagis itu. Dulu saya kira dengan saya berhenti bermimpi, segala keterpurukan saya akan berakhir."
"Nyatanya?" Ia bertanya, prihatin.
"Nyatanya keterpurukan malah semakin mendatangi saya; rasanya keterpurukan itu selalu melihat saya dari balik jendela, menunggu di bawah tempat tidur saya... menghantui saya."

Waktu itu aku benar-benar sedang kehilangan arah, pikirku. Rasanya dunia seperti ingin menghimpitku hingga tak berbekas. Aku sudah beberapa kali berhadapan dengan mimpi; berkali-kali gagal, beberapa kali berhasil ukuranku, memberikan kebahagiaan semu yang ternyata kemudian berbalik menyerangku perlahan-lahan. Membuatku merasa bahkan lebih terpuruk dibandingkan gagal.

Hah.

Kalau aku ingat-ingat soal pikiran itu, pikiranku dulu, rasanya jadi muak sekali. Aku begitu pesimis. Begitu mudahnya aku terseret oleh kerasnya hidup, padahal ia belum seberapa keras. Ladang kehidupan di luar sana sangat luas; luas dan penuh ranjau. Tapi bukankah selalu ada dua cara untuk memandang ladang itu; sebagai tempat bertanam seluas-luasnya, atau sebagai satu ranjau besar, bom waktu yang suatu saat akan meledak?

"Hei," ujar orang di depanku itu, membuyarkan lamunanku, "Ada apa?"
"Ah, tidak. Tadi sampai mana?"
"Keterpurukan menghantuimu di mana-mana. Apa yang terjadi setelah itu?"
"Saya mulai membangun mimpi lagi. Karena nyatanya, setelah segala yang saya kira tidak bisa saya lewati itu selesai, yang saya masih ingat rasanya hanya bagian manisnya saja. Ah, tidak, pahitnya tetap ada, hanya saja..."
"Hanya saja?"
"Hanya saja, saya ingat kenyataan bahwa saya berhasil melewati kepahitan tersebut."
Ia tersenyum. "Dan pahit itu menguatkan kamu, bukan begitu?"
Aku mengangguk cepat. "Dan senangnya, bermimpi tidak hanya membawa saya menuju hal itu."

Ia bergeming, seperti menanti kalimatku yang menggantung di udara itu. "Mimpi juga membawa saya tidak sendiri lagi," aku tersenyum malu sebelum melanjutkan, "Karena sekarang saya bersama kamu."
----------------------
rasanya senang saja,
bisa membangun mimpi,
dengan orang seluar biasa itu.

Comments

Popular posts from this blog

Favourite Scenes in Meet the Robinsons!

20 Tips Bermain Ameba Pigg

Pigg, Apaan Tuh?