Mimpi

Adriana kecil tersenyum saat menyerahkan tugasnya.

Dia teringat bagaimana guru yang mengajar mata pelajaran IPS memberikan tugas kliping untuk kelasnya. Dia pun mengerjakannya, bukan berbentuk kliping dari koran, melainkan sebuah artikel yang ayahnya cetak dari internet.

Saat itu dia bangga sekali. Dia membayangkan bagaimana gurunya akan berlari dan memberikan beasiswa untuknya karena itu. Hal yang lucu, memang, namun cukup wajar mengingat dirinya yang baru kelas 2 SD. Apalagi dia berusia paling kecil di antara yang lain.

Aku sedang berusaha bangkit dari keterpurukanku atas kegagalanku saat mengingatnya.

Kegagalan? Yah, aku punya cita-cita. Cita-cita yang berkobar begitu terang, apalagi saat dia sudah begitu dekat, sudah di depan mata. Namun dia, medali itu, memang bukan takdirku.

Aku pun tersenyum. Ya, tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah menangis, menangis, menangis, dan menangis lagi, aku benar-benar tersenyum. Aku harap, teman-temanku yang juga belum berhasil juga telah menemukan senyum mereka kembali saat ini.

Aku tersenyum, lalu aku menangis lagi. Tapi kali ini bukan tangis kegagalan, melainkan tangis yang penuh keharuan.

...sekaligus tangis yang menangisi kebodohanku.

Aku mungkin gagal meraih cita-citaku yang kubuat tahun ini, di tahun keduaku di SMP.

Namun, Allah telah membawaku menuju mimpiku saat kecil dulu. Ya, bayangkan saja, mimpiku enam tahun yang lalu, yang tanpa aku sadari tidak pernah pergi dari diriku, telah aku capai. Telah aku capai!

Aku memang masih lugu sekali waktu itu. Tapi dalam keluguan itu, aku telah menetapkan mimpiku: aku ingin mendapatkan beasiswa dari sekolahku.

Dan dia telah ada di genggamanku, dengan atau tanpa mendapatkan medali.

Kalah begitu, mari membuat statistika. Cita-citaku di tahun keduaku di SD, aku capai di tahun keduaku di SMP. Apa mungkin cita-citaku di SMP ini akan aku capai di SMA nanti?

Aku tidak tahu, dan saat ini... aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Yang terpenting adalah, Allah telah membawaku menuju mimpiku saat kecil dulu.

Dan tidak ada alasan lagi untukku merasa gagal, karena pada kenyataannya aku telah berhasil.

Allah telah membawaku menuju mimpiku saat kecil dulu.

Allah, sungguh, telah membawaku menuju mimpiku saat kecil dulu.

Kalau Adriana kecil pada saat itu sudah tahu dia akan benar-benar mendapatkan beasiswa, mungkin dia akan berkata, "Jangan pernah sekali-kali menyangsikan kekuatan mimpi."

Subhanallah, walhamdulillaahi, wa laa illaahailallahu, wallahuakbar.

(dibuat dengan latar waktu Mei 2013 lalu)

Comments

Popular posts from this blog

Favourite Scenes in Meet the Robinsons!

20 Tips Bermain Ameba Pigg

Pigg, Apaan Tuh?